Bisnis online kini sudah menjadi tren di mana-mana. Tidak hanya menjadi dominasi masyarakat kota besar, tapi sudah merambah ke berbagai daerah. Termasuk di Pekanbaru, yang pelakunya kebanyakan mahasiswa. Bahkan untuk berbisnis online, mereka tidak mesti membuat situs berbayar. Tak sedikit yang hanya bermodal blog gratisan dan akun di facebook.
Fenomena ini wajar terjadi, bila mengingat pertumbuhan pengguna internet yang sangat pesat. Berdasarkan data Internet World Stats, per 30 Juni 2010 jumlah pengguna internet di dunia mencapai 1,96 miliar atau lebih dari 28,7 persen penduduk dunia. Khusus di Indonesia jumlah pengguna internet mencapai 30 juta lebih. Dilihat dari perkembangannya, selama kurun 2000-2010 pertumbuhan pengguna internet di tanah air mengalami peningkatan hingga 1.400 persen, atau kalau dirata-ratakan mencapai 140 persen tiap tahun. Angka ini diperkirakan akan naik drastis mengingat akses masyarakat terhadap teknologi informasi semakin tinggi.
Kini, internet memiliki daya tarik tersendiri bagi kemudahan suatu akses media. Bahkan lewat internet banyak orang mampu menciptakan berbagai bentuk wajah media yang dapat menciptakan suatu kesenangan dan ketergantungan. Selain pengguna internet yang memanfaatkan Internet Service Provider (ISP), banyak juga pengguna internet melalui telepon seluler. Saat ini pengguna internet via ponsel menembus angka 9 juta lebih di Indonesia.
Agaknya tren pengguna internet inilah yang dilirik para pebisnis kreatif yang memanfaatkan dunia maya. Terus melonjaknya jumlah pengguna internet sering dihubungkan dengan kebutuhan para pelaku bisnis. Sehingga muncullah istilah Electronic Commerce (e-Commerce). Istilah untuki menyebut proses pembelian dan penjualan produk, jasa dan informasi yang dilakukan secara elektronik. Salah satu jaringan yang digunakan adalah internet.
Ini jugalah yang mengilhami Riska Yulianti (22) saat mendirikan “Kampus Kecil”, sebuah ollshop alias online shop yang memanfaatkan jejaring sosial Facebook. Dara kelahiran Tanjungpinang, 27 Juli 1988 lalu ini, sudah hampir setahun membuat toko online. Tak tanggung-tanggung, meski berdomisili di Pekanbaru, pemasarannya bisa menembus beberapa daerah di Indonesia. Bahkan ada yang di Manokwari, Papua.
Riska bercerita, memulai bisnis ini dengan memanfaatkan waktu luangnya. Maklum, saat ini ia tercatat sebagai mahasiswi semester akhir di FISIP Universitas Riau. Karena aktivitas kuliah di kampus semakin berkurang dan merasa sudah tidak memiliki wadah untuk beraktivitas di kampus, ia pun menjajal berwirausaha dengan online shop. “Usaha ini kan sedang mem-booming di banyak kalangan,” katanya.
Dengan bermodal keyakinan, ia pun memulai dengan membuat beragam produk kaos kampus tempatnya kuliah sebagai merchandise. Ia juga menyalurkan hobinya mengotak-atik benda-benda yang dianggap tidak bernilai untuk dijadikan aksesoris.
“Awalnya saya buat kalung, terus kepikiran yang pakai jilbab, saya buat bros, dan berentetan aksesoris lainnya untuk kita pasarkan lewat online,” ujarnya.
Tidak disangka, semua produk yang ia publish lewat Facebook mendapat apresiasi sangat baik. “Alhamdulillah ternyata banyak yang suka, dari situ banyak yang pesan. Bahkan ada yang beli sampai 300 pcs, biasanya mereka itu reseller,” ujarnya.
Dibantu dengan beberapa teman yang sifatnya temporer, ia mengaku sanggup mengerjakan semua pesanan. “Rata-rata teman kos pada bantuin, memang sifatnya temporer. Karena masing-masing punya kesibukan juga. Tapi mereka membantu sampai selesai, kalau lagi banyak orderan,” jelasnya sumringah.
Riska pun sangat mencintai pekerjaan barunya ini. Untuk pengembangan bisnisnya, ia pun rajin membolak-balik majalah yang banyak mengupas fashion. “Apalagi dalam majalah itu ada rubrik yang ngajarin kita buat aksesoris tangan sendiri. Sehingga bisa kita kreasikan,” paparnya.
Saat ini, ia sudah membuat sekitar 300 desain aksesoris. Omzetnya pun cukup lumayan untuk ukuran pemula, setiap bulan rata-rata mencapai Rp 6-7 juta. “Lumayan membantu biaya hidup. Bahkan saya juga bisa bantu teman-teman kos, karena mereka juga membantu saya dalam mengerjakannya,” katanya.
Tidak hanya aksesoris yang ia jual. Ia bahkan sudah mengembangkan dalam beragam produk. “Ada jam tangan, baju, dan kerajinan dari tepung cly,” ungkapnya.
Pelaku bisnis online lainnya, Resty Pratiwi (21), mendirikan Roemah Uniq di dunia maya. Di toko online yang juga menempati laman Facebook ini, dara manis itu menekuni usaha aksesoris handy craft. Sejak setahun lalu, ia membuat beragam kreasi handy craft dari bahan flannel, kain tile, dan bekas kain perca. Produk buatannya juga sudah merambah beberapa daerah.
Meski membuat produk dengan modal murah, hasilnya tidak kalah dengan produk berkelas. Bisnis kecil-kecilannya ini dikenal sampai luar kota, termasuk Pulau Jawa. “Distribusinya sudah sampai ke Bandung dan Jakarta,” ujar dara kelahiran Tembilahan, 7 Januari 1989 ini.
Resty menceritakan, semula, bisnis handy craft ini ia lakoni karena hobi. Ia bisa membuat berbagai aksesoris seperti gelas, kalung, cincin, gelang, bando dan bros. Menurutnya, membuat aksesoris dengan mengandalkan kelihaian tangan membutuhkan pemikiran-pemikiran yang fresh. “Karena ini karya seni, jadi harus up to date dan enak dilihat. Menciptakan kreativitas terkadang membutuhkan konsentrasi dalam mengerjakannya,” ungkapnya.
Selain itu, tambahnya, usaha ini juga harus didukung dengan kemampuan melihat perkembangan pasar yang berubah. Makanya ia pun rajin berburu referensi, seperti berselancar di internet, majalah, buku dan beragam referensi lainnya.
Dengan pemesaran secara online, Resty mengaku, cost-nya lebih irit ketimbang buka kios. Selain itu, produknya juga bisa dikenal banyak orang. Apalagi ia baru mengelola usahanya sendirian. “Memang ada yang bantu-bantu, cuma saya belum sanggup untuk cari pegawai. Kemarin sempat ada tapi susah juga mengarahkannya karena ini kerja seni. Jadi paling saya cari untuk bantu-bantu saja, apalagi kalau orderannnya banyak,” jelasnya.
Untuk harga, aksesori di Roemah Uniq ini dibanderol dari Rp 5 ribu hingga Rp 60 ribu. “Tergantung tingkat kerumitan dan materialnya,” katanya.
Sejauh ini, Resty mengaku kadang kesulitan mencari bahan baku. Apalagi banyak pengusaha serupa, sehingga stok material di tempat grosir sering habis, pun harganya mahal. “Tapi kita ya pintar-pintar bagaimana supaya kita dapat bersaing dengan orang lain, terutama harga,” paparnya.
Dalam sehari, jika banyak order ia bisa mendapatkan omzet hingga Rp 300 ribu. “Tapi saya belum pernah kalkulasikan juga total per bulannya, yang pasti bisalah untuk nambah-nambah belanja,” ujarnya.
Menjalani bisnis online, bukan tanpa kendala. Terutama berkaitan dengan pengiriman barang. “Pernah mengalami masalah dengan jasa pengiriman barang karena kerusakan barang yang saya kirim. Tapi setelah komplain ke jasa pengirimannya, mereka janji bakal memberi servis yang lebih baik lagi, dan pembeli pun memakluminya. Karena yang saya lakukan ialah berusaha agar pelanggan bisa puas terhadap pelayanan,” jelasnya.
Mengusung Lokalitas
Tak hanya menawarkan dagangan dengan desain kontemporer, ada juga pelaku bisnis kreatif yang mengusung lokalitas. Salah satunya Melayu Oblong (Melo), pelopor ikon untuk suvenir kaos oblong khas Riau. Dengan membangun blog dan akun Facebook, Melo mempromosikan desain-desain terbaru yang banyak sarat dengan kultur Melayu.
Menurut owner Melo, David Alamsyah, kaos Khas Riau ini semakin mengalami kemajuan dalam hal distribusi. Penjualan secara online juga sudah merambah ke Kepulauan Riau. “Tapi terkadang masih terkendala masalah jasa pengiriman yang tidak bisa menjangkau tempat tujuan, sehingga pesanan bisa sampai dua minggu,” ujarnya.
Saat ini kaos Melo sudah memasuki produksi kedua. Terdiri atas empat desain dengan total produksi 144 pcs. Satu di antaranya, merupakan desain ulang produksi yang pertama. “Desain yang diulang ialah yang gambar Hang Tuah, karena banyaknya permintaan konsumen yang menyukai desain tersebut,” terangnya.
Untuk produksi yang kedua ini, katanya, ia mulai melibatkan keluarganya, yakni dengan mempercayakan sepupunya yang ada di Pekanbaru dan Bengkalis untuk mendesain kaos tersebut. “Jadi untuk memproduksi kaos Melo yang kedua ini saya mulai melibatkan keluarga,” ujar pria yang berdomisli di Dumai tersebut.
Mengenai filosofi Melo, David menuturkan, sesuai artinya dalam bahasa Melayu, yakni sifat manja yang berlebihan, bisa juga disebut dengan degil atau nakal. “Oblong ini nanti untuk mempresentasikan tema-tema budaya lokal, sampai yang menyentuh kehidupan sosial masyarakat lokal di Riau,” katanya kepada riaubisnis.com.
Salah satu desain yang dibuatnya, yakni menampilkan gambar dan syair-syair pantun Melayu yang nakal dan kocak. Bahkan ada yang menampilkan pesan moral tertentu. Ini yang menjadi daya tariknya, apalagi bahan yang digunakan Melo, sangat berkualitas, seratus persen berbahan cotton.
David menceritakan, ide untuk memulai usaha ini, terinsiprasi ketika ia menetap di Dumai, dan baru hijrah dari Jakarta. Kebetulan istrinya asal Dumai. Setelah lama berinteraksi dan sedikit demi sedikit tahu budaya lokal, ia pun tertarik. “Ini yang membuat saya tertarik mempelajari sejarah dan budaya Melayu, khususnya di Riau. Apalagi istri saya lahir dan besar di Riau dan sedikit banyak mengerti daripada saya yang lahir dan besar di Jakarta,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan, usaha yang dilakukannya ini untuk mengangkat kecintaan orang Melayu terhadap budayanya. Apalagi, kaos oblong sangat banyak penggemarnya, terutama anak muda. “Cara ini sudah terbukti berhasil dilakukan, seperti Dagadu di Jogja dan Jogger di Bali,” ungkapnya.
Menurut David, sejak pertama launching, hasil produksinya mendapat respons yang sangat positif. Untuk produksi pertamanya, ia merilis 10 desain, masing-masing diproduksi dua lusin. Jumlah produksi untuk pertama kali hanya 240 pcs. ” Alhamdulilah produk sudah habis, hanya tinggal beberapa yang sengaja saya tahan untuk stok. Kalau dulu ukuran yang kita keluarkan hanya M dan L. Dalam produksi yang kedua ditambah ukuran S dan XL,” pungkasnya. (*)
Salah satu desain yang dibuatnya, yakni menampilkan gambar dan syair-syair pantun Melayu yang nakal dan kocak. Bahkan ada yang menampilkan pesan moral tertentu. Ini yang menjadi daya tariknya, apalagi bahan yang digunakan Melo, sangat berkualitas, seratus persen berbahan cotton.
David menceritakan, ide untuk memulai usaha ini, terinsiprasi ketika ia menetap di Dumai, dan baru hijrah dari Jakarta. Kebetulan istrinya asal Dumai. Setelah lama berinteraksi dan sedikit demi sedikit tahu budaya lokal, ia pun tertarik. “Ini yang membuat saya tertarik mempelajari sejarah dan budaya Melayu, khususnya di Riau. Apalagi istri saya lahir dan besar di Riau dan sedikit banyak mengerti daripada saya yang lahir dan besar di Jakarta,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan, usaha yang dilakukannya ini untuk mengangkat kecintaan orang Melayu terhadap budayanya. Apalagi, kaos oblong sangat banyak penggemarnya, terutama anak muda. “Cara ini sudah terbukti berhasil dilakukan, seperti Dagadu di Jogja dan Jogger di Bali,” ungkapnya.
Menurut David, sejak pertama launching, hasil produksinya mendapat respons yang sangat positif. Untuk produksi pertamanya, ia merilis 10 desain, masing-masing diproduksi dua lusin. Jumlah produksi untuk pertama kali hanya 240 pcs. ” Alhamdulilah produk sudah habis, hanya tinggal beberapa yang sengaja saya tahan untuk stok. Kalau dulu ukuran yang kita keluarkan hanya M dan L. Dalam produksi yang kedua ditambah ukuran S dan XL,” pungkasnya. (*)
Pela | Edited by Suprapto/ Badri
Sumber :
http://www.riaubisnis.com/index.php/lipsus-othermenu-10/70-lipsus/2170-mengintip-tren-bisnis-online-di-riau
Memang lagi ngetrend nih skrng bisnis online baik diriau maupun dikota2 lainnya....Semoga makin sukses gan...
BalasHapusTrimekaseh..aamiin
BalasHapusSemoga sukses terus dengan Toko Online ..Salam kenal
BalasHapus