Tepat di gerbang Pulau Bintan, sekitar 10 menit penyeberangan dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang, terhampar sebuah pulau yang menyimpan sejuta khazanah kebesaran sejarah Melayu. Namanya Pulau Penyengat.
Dari kejauhan, pulau seluas sekitar 240 hektar ini memancarkan kemegahan Masjid Raya Penyengat, yang dibangun tahun 1832 Masehi (1 Syawal 1248 Hijriah). Masjid Raya berarsitektur rancangan konstruksi Turki dan Eropa ini tetap terjaga keasriannya meski dipugar beberapa kali. Masjid bersejarah ini tetap berdiri kokoh dan menjadi situs kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau kendati beton-betonnya hanya direkat dengan bahan kuning telur.
Pulau Penyengat, yang hanya berupa pulau kecil yang kaya bauksit seluas 240 hektare yang terletak di seberang Barat Pulau Bintan, Kepulauan Riau, adalah sebuah hamparan daratan eksotis yang menyimpan aneka situs dan taman perhelatan bagi penulis Melayu di era kejayaan Kerajaan Riau Lingga.. Sapardi Djoko Damono menyebutkan nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Raja Ali Haji, Hamzah Fansyuri yang karya-karyanya menjadi tonggak dasar bagi kesastraan Indonesia modern.
Pada awal abad ke-19, sastra Melayu berkembang pesat di Pulau Penyengat. Ketika itu kegiatan tulis menulis dipandang sebagai pekerjaan mulia. Bukan hanya bangsawan dan sastrawan yang melakukan kegiatan tulis-menulis, siapa saja boleh terlibat. Kerajaan sepenuhnya membiayai untuk perlengkapan seperti kertas dan pena serta mendirikan percetakan untuk menerbitka karya-karya. Perpustakaan didirikan, buku-buku banyak diterbitkan. Orang biasa yang tak berpangkat dan berstatus putra mahkota pun banyak yang menulis. Tersebutlah semua orang yang tinggal di Penyengat terlibat aktif berkarya. Kaum nelayan dan perempuan menulis banyak karangan. Sebuah buku Perkawinan Penduduk Penyengat dikarang oleh seorang nelayan bernama Encik Abdullah diterbitkan pada tahun 1902.
Dukungan penerbitan karya sastra sangat terbantu dengan didirikannya percetakan Mathba’atul Riauwiyah dan Mathba‘atul Al Ahmadi pada tahun 1890-an. Percetakan turut mempercepat banyak hasil karya yang ditulis penulis Melayu sekaligus memperluas penyebaran buku. Sebagai ciri umum dari kegiatan bersastra selalu ditopang dengan keberadaan sebuah komunitas penulis. Hal ini juga dijumpai pada permulaan geliat sastra Melayu dengan hadirnya Rusdiyah Klab, yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang intelektual dan sastrawan Melayu.
Dukungan penerbitan karya sastra sangat terbantu dengan didirikannya percetakan Mathba’atul Riauwiyah dan Mathba‘atul Al Ahmadi pada tahun 1890-an. Percetakan turut mempercepat banyak hasil karya yang ditulis penulis Melayu sekaligus memperluas penyebaran buku. Sebagai ciri umum dari kegiatan bersastra selalu ditopang dengan keberadaan sebuah komunitas penulis. Hal ini juga dijumpai pada permulaan geliat sastra Melayu dengan hadirnya Rusdiyah Klab, yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang intelektual dan sastrawan Melayu.
Komunitas ini dibentuk sebagai forum bersama untuk mengembangkan sastra Melayu. Fungsi dan perannya sama dengan komunitas penulisan yang ada saat ini. Mereka juga mencetak karya anggotanya. Sehingga semakin semarak dunia tulis-menulis di kerajaan Melayu Riau. Rusydiah Club merupakan organisasi para cendekiawan Melayu Kerajaan Riau di Pulau penyengat yang dibentuk pada tahun 1884. Perhimpunan intelektual yang tidak dapat menerima kehadiran penjajah Belanda ini jauh mendahulukan perhimpunan pemuda “Budi Utomo” (1908). Anggotanya banyak menulis, menterjemahkan dan mencetak berbagai jenis karya tulisnya, seperti syair, ekhwal agama, adat istiadat dll.
Pada tahun 1890-an sebuah percetakan bernama Mathba’atul Riauwiyah meminta Rusydiah Klub untuk mencetak dan menerbitkan berbagai karya anggotanya. Sejalan dengan perjalanan waktu organisasi ini tidak disukai oleh penjajah, karena tujuan dari organisasi ini menentang penjajah Belanda. Tokoh intelektual yang amat terkenal luas dari Rusdiyah Club, antara lain Raja Ali Kelana, dan Raja Khalid Hitam. Rusdiyah Club menempati sebuah bangunan, tetapi saat sekarang hanya tinggal pondasinya saja. Tapak bangunan ini menyatu dengan tapak percetakan kerajaan.
Sejumlah sastrawan Melayu lahir dari klab ini. Salah satunya adalah pengarang Raja Haji Ahmad Engku Tua, putera tertua Raja Haji Fisabillilah. Raja Haji Ahmad Engku Tua menulis banyak syair yang di antaranya adalah Syair Engku Puteri dan Syair Perang Johor serta membuat kerangka awal buku Tuhfat An-Nafis yang penulisannya dilanjutkan oleh puteranya Raja Ali Haji.
Sebuah perpustakaan dengan ribuan koleksi buku dan karya tulis menurut catatan sejarah juga dibangun pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Mohd Yusuf Al Ahmadi. Namun saat ini bangunan percetakan dan perpustakaan yang pernah dibangun di pulau itu kini sudah tidak dapat lagi dilihat bekas atau puing-puing reruntuhannya. Yang tersisa hanya beberapa ratus buku dan naskah kuno yang kini disimpan di Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau dan Masjid Sultan. Kurang lebih 300 naskah baik yang berupa buku maupun notulensi tersimpan di Pusat Maklumat Kebudayaan sedangkan sisanya disimpan di Masjid.
sumber :
http://www.riaupos.com/new/artikel.php?act=full&id=27&kat=1
http://buliktit.blogspot.com/2006/07/monumen-sejarah-riau-di-penyengat.html
http://leniee.wordpress.com/objek-objek-wisata-kota-tanjungpinang/
Pembahasan yang sungguh bermakna dan membuka mata wawasan kita, wawasan dan sejarah dari tanah melayu di Indonesia harus lebih kita ekspos kembali agar tak hilang dan dilupakan begitu saja
BalasHapus